Bagi sebagian besar penduduk di sepanjang Sungai Martapura, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, banjir bukanlah hal asing. Namun, seiring perubahan iklim dan pembangunan yang pesat, frekuensi dan intensitas banjir semakin meningkat. Bagaimana masyarakat memandang risiko banjir dan beradaptasi menghadapinya?
Sebuah studi terbaru yang dilakukan oleh tim peneliti dari Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, Poltekkes Kemenkes Banjarmasin, dan Universitas Lambung Mangkurat mengungkap temuan menarik tentang persepsi risiko dan strategi adaptasi masyarakat terhadap banjir di kawasan ini.
“Sungai adalah kehidupan kami. Bukan sekadar air, tapi identitas kami,” ungkap seorang sesepuh dalam wawancara penelitian. Pernyataan ini mencerminkan hubungan erat antara masyarakat dan sungai, yang turut memengaruhi cara mereka memandang risiko banjir.
Studi ini menemukan bahwa pengalaman banjir sebelumnya adalah faktor terkuat yang memengaruhi persepsi risiko dan kesiapan menghadapi banjir. Mereka yang pernah mengalami banjir parah dalam 5 tahun terakhir 2,7 kali lebih mungkin menganggap risiko banjir tinggi.
Menariknya, faktor ekonomi memiliki pengaruh yang kompleks. Warga berpenghasilan lebih tinggi cenderung memiliki persepsi risiko lebih rendah, namun lebih mampu melakukan adaptasi. Sementara itu, pendidikan yang lebih tinggi berkorelasi dengan kesadaran risiko yang lebih besar.
Dalam menghadapi ancaman banjir, masyarakat menerapkan berbagai strategi adaptasi. Modifikasi struktur rumah (62%) dan pencarian informasi aktif (73%) adalah strategi yang paling umum. Namun, hanya 31% warga yang memiliki kesiapan finansial menghadapi banjir, menunjukkan pentingnya dukungan ekonomi dalam upaya adaptasi.
Yang menarik, 45% warga terlibat dalam aksi berbasis komunitas, mencerminkan kuatnya kohesi sosial. “Ketika air naik, kami menjadi satu keluarga. Semua orang saling membantu,” kata seorang relawan lokal.
Studi ini juga mengungkap pentingnya pengetahuan lokal. Banyak warga masih mengandalkan “membaca suasana sungai” yang diajarkan secara turun-temurun, meski sistem peringatan dini modern telah diterapkan.
Temuan-temuan ini memiliki implikasi penting bagi pengelolaan risiko banjir. Diperlukan strategi komunikasi risiko yang disesuaikan dengan kondisi lokal, peningkatan sistem peringatan dini, dan integrasi pengetahuan tradisional dengan pendekatan modern.
“Penelitian ini menunjukkan pentingnya pendekatan yang mempertimbangkan aspek sosial-budaya dalam manajemen risiko banjir,” ujar Muhamad Ratodi ST , M.Kes , sebagai peneliti utama studi ini. “Kita perlu memanfaatkan kekuatan kohesi komunitas sambil mengatasi kendala ekonomi yang menghambat adaptasi individu.”
Dengan perubahan iklim yang terus berlanjut, memahami dan mendukung strategi adaptasi masyarakat lokal menjadi kunci dalam membangun ketahanan terhadap banjir. Pelajaran dari warga Sungai Martapura ini bisa menjadi contoh berharga bagi daerah lain di Indonesia yang menghadapi tantangan serupa.